Ramalan Pengusaha Soal Nasib Ekonomi RI, Membaik atau Makin Buruk?

2 hours ago 2

Jakarta, CNBC Indonesia - Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani mengonfirmasi optimisme pelaku usaha terhadap kondisi ekonomi enam bulan ke depan makin menyusut.

Kondisi ini sebetulnya terungkap dalam Indeks Kepercayaan Industri (IKI) yang disurvei Kementerian Perindustrian. Per April 2025 angka indeks optimisme kondisi usaha 6 bulan ke depan hanya 66,8%, merosot dari kondisi Maret 2025 yang sebesar 69,2%.

Level optimisme ini pun menjadi yang terendah dalam 12 bulan terakhir. Sebab, sejak April 2024 sampai dengan Februari 2025 angka indeksnya di kisaran atas 70%, seperti pada April 2024 level indeks optimismenya sebesar 72,7%.

"Tapi, saya gak bisa bilang kita gak optimis ya. Kita gak pernah ngomong, gak pernah bisa bilang kita gak optimis. Buat saya sekarang bukan soal optimis atau tidak optimis. Bagaimana nih kita bisa menyelesaikan masalah yang ada," kata Shinta saat Media Briefing Apindo di Jakarta, Rabu (14/5/2025).

Melemahnya angka optimisme pelaku usaha terhadap kondisi usaha selama 6 bulan ke depan dalam IKI itu sejalan dengan data Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur Indonesia yang dirilis untuk April 2025 menunjukkan kontraksi tajam ke level 46,7 memperlihatkan penurunan signifikan dari 52,4 pada Maret 2025.

"Ini merupakan level kontraksi terdalam sejak Agustus 2021 dan menandai pergeseran drastis dari fase ekspansi yang sempat berlangsung dalam beberapa bulan terakhir. Kontraksi ini mencerminkan pelemahan permintaan baru dan peningkatan tekanan biaya produksi, yang terjadi di tengah ketidakpastian kondisi pasar global," papar Shinta.

Shinta menilai, permasalahan optimisme pelaku usaha ini terganggu karena sektor industri Indonesia saat ini menghadapi empat tantangan struktural utama yang terus menggerus daya saing nasional.

Pertama, hambatan regulasi masih menjadi sorotan utama dunia usaha. Survei Roadmap Perekonomian APINDO menyebut 43% pelaku usaha menilai regulasi yang ada belum mendukung kinerja produksi dan penjualan.

Kedua, tingginya biaya berusaha menjadi kendala serius. Biaya logistik Indonesia mencapai 23% dari PDB, lebih tinggi dibandingkan Malaysia, China, dan Singapura. Suku bunga pinjaman yang mencapai 8-14% serta upah minimum yang naik rata-rata 8% per tahun melampaui kemampuan sektor industri padat karya. Cost of compliance akibat birokrasi yang tidak efisien dan lemahnya kepastian hukum turut memperberat beban usaha.

Ketiga, keamanan berusaha menjadi tantangan nyata di lapangan. Gangguan dari oknum di luar sistem hukum kerap menghambat proses produksi dan distribusi, menciptakan ketidakpastian operasional bagi pelaku usaha.

Keempat, kualitas sumber daya manusia juga menjadi penghambat utama. Produktivitas tenaga kerja Indonesia (US$ 23,87 ribu) masih tertinggal dari rata-rata ASEAN, dengan dominasi tenaga kerja berpendidikan SD ke bawah (36,54%) dan hanya 12,66% lulusan perguruan tinggi.

Untuk memperbaiki berbagai masalah itu, Shinta mengatakan, Apindo telah terlibat aktif dalam berbagai upaya pemerintah melakukan akselerasi transformasi ekonomi nasional, seperti dalam hal pembentukan satgas peningkatan ekspor nasional, satgas deregulasi, serta satgas perluasan kesempatan kerja dan mitigasi PHK yang dinaungi Kemenko Perekonomian.

"Karena itu saya mengatakan bahwa bagaimanapun kita bagian daripada Indonesia Incorporated, kita juga perlu memberikan solusi atas masalah-masalah yang ada. Jadi tidak cuma kita bisa komplain, kita juga menyampaikan solusi dan bagaimana mengawal dari segi terutama pelaksanaan di lapangannya," tegas Shinta.


(arj/mij)

Saksikan video di bawah ini:

Video: RI Banjir Impor, DPR Dorong Pemerintah Lakukan Ini

Next Article Regulasi UMP Kerap Berubah-Ubah, Pengusaha Takut Investor Kabur

Read Entire Article
Photo View |