Rusia Kirim Serangan Bunuh Diri Terbesar ke Ukraina, Misi Trump Gagal?

4 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Rusia melancarkan serangan drone terbesar sejak awal invasi ke Ukraina pada Minggu (18/5/2025), hanya sehari sebelum Presiden Amerika Serikat Donald Trump dijadwalkan menggelar pembicaraan penting dengan Presiden Rusia Vladimir Putin terkait usulan gencatan senjata.

Serangan itu menghancurkan rumah-rumah warga dan menewaskan sedikitnya satu orang, serta melukai beberapa lainnya, termasuk seorang anak berusia empat tahun.

Menurut militer Ukraina, serangan yang terjadi sepanjang malam hingga pagi hari mencakup peluncuran 273 drone kamikaze ke berbagai kota, melewati rekor sebelumnya yang dicetak Rusia pada Februari lalu, bertepatan dengan peringatan 3 tahun perang.

"Saya bisa mendengar dengan jelas suara drone yang terbang langsung ke rumah saya," ujar Natalia Piven (44), warga wilayah Obukhiv di sebelah barat Kyiv. "Saya belum bisa menerima kenyataan ini. Rumah kami hancur total," katanya, dilansir Reuters.

Piven selamat setelah mengungsi ke ruang bawah tanah bersama putranya saat sirene serangan udara berbunyi. Mereka kemudian lari ke tempat perlindungan di taman kanak-kanak. Seorang wanita 28 tahun tetangganya tewas, sementara tiga orang lainnya luka-luka, termasuk anak kecil.

Di tengah situasi yang semakin kritis, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky terus berupaya menjalin kembali hubungan kuat dengan Amerika Serikat setelah kunjungan buruk ke Gedung Putih pada Februari lalu.

Pada Minggu, Zelensky bertemu dengan Wakil Presiden JD Vance dan Menteri Luar Negeri Marco Rubio di Roma, di sela-sela acara pelantikan Paus Leo yang baru.

"Pertemuan berlangsung baik," kata Zelensky dalam unggahan media sosial, disertai foto-foto bersama delegasi AS di meja bundar.

"Saya menegaskan kembali bahwa Ukraina siap untuk terlibat dalam diplomasi nyata dan menekankan pentingnya gencatan senjata penuh dan tanpa syarat secepat mungkin."

Pertemuan berlangsung selama sekitar 40 menit, menurut laporan media Ukraina.

Pada Jumat sebelumnya, Ukraina dan Rusia menggelar pembicaraan langsung pertama dalam lebih dari 3 tahun di bawah tekanan kuat dari Presiden Trump untuk mencapai kesepakatan damai.

Kedua pihak sepakat untuk menukar masing-masing 1.000 tahanan, namun gagal mencapai kesepakatan gencatan senjata, setelah Moskow menyampaikan syarat-syarat yang disebut perwakilan Ukraina sebagai "tidak bisa diterima."

Rusia bersikeras bahwa penghentian perang hanya dapat terjadi jika Ukraina menyetujui penghentian pasokan senjata dari Barat, penyerahan wilayah, dan status netral dan perlucutan senjata.

Zelensky dan para pejabat Ukraina mengatakan syarat itu sama dengan penyerahan total dan akan membuat negara mereka tak berdaya.

Sementara itu, para pemimpin Jerman, Prancis, Inggris, dan Polandia dijadwalkan berbicara dengan Trump sebelum pembicaraan Trump-Putin pada Senin. Kanselir Jerman Friedrich Merz mengatakan bahwa keempat negara tersebut mendukung gagasan sanksi baru terhadap Rusia, dan meminta Trump mendukung langkah tersebut.

Ketika ditanya apakah waktunya sudah tepat untuk menjatuhkan sanksi yang lebih berat terhadap Moskow, Menteri Keuangan AS Scott Bessent menjawab bahwa keputusan ada di tangan Trump.

"Kita akan lihat apa yang terjadi ketika kedua belah pihak duduk di meja perundingan," katanya kepada NBC.

"Presiden Trump sudah sangat jelas. Jika Presiden Putin tidak bernegosiasi dengan itikad baik, maka Amerika Serikat tidak akan ragu menjatuhkan sanksi baru bersama mitra Eropa kami."

Sementara itu, trump, yang kini semakin condong menerima sebagian narasi Rusia soal perang, telah menyatakan bahwa ia akan mendorong kesepakatan gencatan senjata selama minimal 30 hari tanpa syarat.


(luc/luc)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Rusia Luncurkan Serangan Drone Besar-besaran Ke Ukraina

Next Article Rusia Kebobolan! Putin Menggila di Ukraina, Siapkan Aksi Balas Dendam

Read Entire Article
Photo View |