Perjanjian Terbaru AS-Inggris Bikin China Ngamuk, Ini Kata Beijing

5 hours ago 1
Daftar Isi

Jakarta, CNBC Indonesia - China melontarkan kritik keras terhadap perjanjian dagang terbaru antara Inggris dan Amerika Serikat yang dinilai berpotensi menyudutkan produk-produk Negeri Tirai Bambu dari rantai pasok Negeri Raja Charles. Kritik ini memperumit upaya London untuk memperbaiki hubungan dagang dan diplomatik dengan Beijing, terutama di tengah ketegangan perdagangan global yang masih tinggi.

Perjanjian yang diteken pekan lalu merupakan kesepakatan dagang pertama yang diumumkan oleh pemerintahan Presiden Donald Trump sejak menerapkan gelombang baru tarif timbal balik pada bulan lalu. Dalam kesepakatan tersebut, AS memberikan keringanan tarif terbatas untuk ekspor mobil dan baja asal Inggris, namun dengan syarat-syarat ketat yang terkait dengan keamanan rantai pasok serta kepemilikan fasilitas produksi strategis.

Syarat-syarat ini mencakup pemenuhan cepat terhadap ketentuan keamanan nasional AS, yang secara terang-terangan ditujukan untuk membatasi pengaruh China. Sejumlah pejabat Inggris mengatakan bahwa Trump secara eksplisit menyebut China sebagai sasaran dari klausul tersebut.

Merespons kesepakatan tersebut, juru bicara Kementerian Luar Negeri China mengatakan kepada Financial Times bahwa kerja sama antara negara tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan negara ketiga.

"Kerja sama antarnegara seharusnya tidak ditujukan untuk merugikan pihak ketiga," kata juru bicara itu, dilansir Rabu (14/5/2025).

Beijing juga telah memperingatkan negara-negara agar berhati-hati dalam menandatangani perjanjian dagang bilateral dengan AS, karena khawatir Trump akan menggunakannya untuk menekan negara-negara mitra agar memutus ketergantungan terhadap produk dan komponen asal China.

Posisi Inggris

Kesepakatan ini menempatkan Inggris dalam posisi yang sulit, terjepit di antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia.

Di satu sisi, Inggris tengah berupaya mempererat hubungan perdagangan dengan AS pasca-Brexit. Namun di sisi lain, pemerintahan Perdana Menteri Sir Keir Starmer juga berusaha membuka kembali saluran dialog ekonomi dengan China.

Kebijakan Inggris yang menerima klausul keamanan dari Washington-yang menjadi dasar pengurangan tarif di sektor otomotif dan baja-memicu kekhawatiran dan kejutan di Beijing. Seorang penasihat pemerintah China mengatakan secara anonim bahwa Inggris seharusnya tidak terburu-buru menyepakati kesepakatan tersebut.

Zhang Yansheng, peneliti senior di China Academy of Macroeconomic Research, menyebut bahwa AS sedang memaksakan model klausul "racun" dalam perjanjian dagangnya untuk mengucilkan China.

"Bagi Inggris untuk melakukan hal ini, itu tidak adil bagi China," kata Zhang. "Klausul semacam ini lebih buruk daripada tarif itu sendiri."

Zhang juga menyarankan agar China secara langsung menyampaikan ketidakpuasan ini kepada pihak Inggris dalam pembicaraan dagang, namun ia menegaskan bahwa respons balasan tidak perlu dilakukan secara tergesa-gesa.

"Masalah utama sebenarnya adalah Amerika Serikat. Negara lain hanyalah aktor sekunder," ujar Zhang. "Hal ini harus dibicarakan dalam pembicaraan dagang dengan AS."

Sikap Resmi Pemerintah Inggris

Pemerintah Inggris membela kesepakatan dengan AS sebagai langkah penting untuk melindungi sektor-sektor strategis dan memperluas peluang perdagangan.

"Inggris menandatangani perjanjian dagang ini untuk mengamankan ribuan lapangan kerja di sektor-sektor kunci, melindungi bisnis-bisnis Inggris, dan meletakkan dasar bagi perdagangan yang lebih besar di masa depan," kata pernyataan resmi pemerintah.

Meski demikian, London juga menekankan bahwa hubungan ekonomi dengan China tetap penting.

"Perdagangan dan investasi dengan China tetap menjadi kepentingan bagi Inggris, dan kami terus menjalin keterlibatan pragmatis dalam isu-isu yang sesuai dengan kepentingan Inggris dan global," ujar pernyataan tersebut.

Penundaan Perang Dagang

Kritik China terhadap kesepakatan Inggris-AS muncul bertepatan dengan pengumuman penundaan perang dagang selama 90 hari antara AS dan China pada Senin. Sebagai bagian dari kesepakatan tersebut, AS setuju untuk menurunkan tarif atas impor China dari level tertinggi 145% menjadi sekitar 40%.

Pengurangan tarif tambahan hingga 20 poin persentase dapat dilakukan jika kedua pihak menyepakati langkah untuk menghentikan aliran prekursor fentanil dari China ke AS.

China, di sisi lain, juga sepakat menurunkan tarif balasan terhadap produk-produk asal AS, termasuk energi dan hasil pertanian, dari 125% menjadi 10%. Kesepakatan ini membuka harapan akan stabilisasi hubungan dagang kedua negara, namun juga memperlihatkan bahwa AS tengah merancang pendekatan bilateral agresif untuk memojokkan China dalam perjanjian dengan negara mitra lainnya.


(luc/luc)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Perkuat Kerja Sama, Inggris-India Sepakat Pangkas Tarif

Next Article Tertinggi dalam Sejarah, China Sepakati Defisit Anggaran 4% pada 2025

Read Entire Article
Photo View |