Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah diminta memahami kondisi dan kebutuhan industri manufaktur nasional. Dengan menerapkan kebijakan yang sesuai kondisi industri terkait, seperti kebijakan menutup dan membuka keran impor.
Termasuk dalam hal ini adalah impor mobil. Saat ini, baik mobil listrik maupun mobil bensin yang beredar-dijual di Indonesia ada yang masih diimpor sepenuhnya dan utuh alias completely built up (CBU). Jika dibiarkan terus, akan semakin menekan industri terkait yang ada di dalam negeri.
Sementara itu, penjualan mobil nasional seperti tak mampu mempertahankan capaian positif di bulan April 2025.
Setelah sempat naik di bulan Februari 2025, penjualan mobil berbalik turun hampir 2% atau 1.444 unit jadi 70.892 unit di bulan Maret 2025. Lalu, penjualan kembali anjlok, kali ini sampai 27,8% jadi hanya 51.205 unit di bulan April 2025.
Penjualan di bulan April 2025 ini adalah yang terburuk dalam 12 bulan terakhir.
Kondisi ini pun memicu kekhawatiran. Sebab, efek dominonya akan menimpa industri lain, salah satunya industri plastik dan petrokimia di Tanah Air.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiono mengatakan, industri otomotif berkontribusi 15% terhadap pasar industri plastik dari hulu ke hilir. Karena itu, kata dia, penjualan mobil yang anjlok akan berdampak bagi industri plastik nasional, dari hulu (petrokimia) hingga ke hilir.
"Di mobil itu, konsumsi plastiknya 50-100 kg per unit. Kalau penjualan motor kan memang sudah pasti tak sampai 8 juta unit. Mobil kita harapkan 800.000-an unit tahun ini. Tapi kalau sebulan kemarin pun hanya 50.000-an unit, bisa jadi 750.000 unit pun bakal susah tahun ini. Nah ini dampaknya nanti ke industri komponen," katanya kepada CNBC Indonesia, Rabu (14/5/2025).
"Kemungkinan kondisi di tahun 2026 juga akan susah. Kalau misal sama dengan tahun 2025, masih oke. Tapi bisa lebih buruk. Industri auto parts (komponen otomotif) kemarin masih terbantu penjualan mobil, tapi sekarang sudah tidak lagi," ucapnya.
Industri otomotif, kata dia, membutuhkan sekitar 250.000 ton PP Block Copo. Yaitu, polypropylene (PP) yang digunakan industri otomotif, termasuk untuk memproduksi komponen yang membutuhkan kekuatan dan fleksibilitas.
"Dengan kondisi seperti ini, rasanya 200.000 ton juga bakal susah sekali. Apalagi, kita banyak sekali impor auto parts dari China dan Thailand. Akibatnya, utilisasi industri hilir akan turun ke bawah 60%. Ini sinyal bahaya. Kalau yang lebih hulunya jangan sampai turun ke 70%, sementara yang ke hulu lagi harus 100% utilisasinya," ucapnya.
Apalagi, imbuh dia, raksasa elektronik asal Jepang, Panasonic, pada pekan lalu mengumumkan rencana PHK global. Mudah-mudahan Indonesia nggak kena.
Meski begitu, sebutnya, industri plastik di dalam negeri tetap harus mencari "bantalan" agar kapasitas tidak anjlok dalam. Sebab, sambungnya, industri plastik hilir segmen pasar menengah ke bawah kini sudah banyak yang diisi barang impor, terutama dari China.
Karena itu, lanjut Fajar, selain menaikkan daya beli, pemerintah diminta mengevaluasi kinerja dan kebutuhan industri manufaktur di dalam negeri secara total. Dengan begitu, ujarnya, diperoleh hasil analisis atau diagnosis yang menyeluruh, untuk mengetahui permasalahan dan solusi yang dibutuhkan masing-masing industri, di masing-masing lokasinya.
"Kompetisi mobil listrik dan mobil bensin ini masih ketat. Sementara kita lihat penjualan motor listrik lagi anjlok. Produksi dan marketnya belum sejalan. Kita harap daya beli akan semakin baik," ucapnya.
"Batasi impor, efisiensi anggaran silahkan diteruskan tapi dengan selektif. TKDN kalau memang sudah bagus jangan diperlonggar," tambah Fajar.
Dia mengatakan, pelonggaran impor seharusnya hanya untuk bahan baku dan barang yang memang belum bisa dibuat di dalam negeri. Pemerintah, ujarnya, harus mengevaluasi kebijakan-kebijakan yang diterbitkan agar update dengan kondisi dialami industri.
"Kalau memang sudah bisa dibuat di sini, seperti tekstil, perlindungannya harus ketat. Kalau kemarin semangatnya adalah memperlancar arus barang, sekarang, pada semester 2 nanti harusnya fokus bagaimana mempertahankan likuiditas industri d dalam negeri," katanya.
"Jangan sampai impor barang jadi mengganggu pasar dalam negeri. Karena kita tidak mungkin melawan impor dari China, sudah terlalu murah harganya. Jadi, fokus pemerintah pada semester kedua nanti adalah mengevaluasi secara keseluruhan. Kalau tadinya dokter umum, sekarang harus dengan diagnosis dari dokter spesialis dan sub-spesialis lagi. Jadi bisa tahu akar masalahnya. Artinya harus memahami betul karakter kebutuhan dan masalah industri itu sendiri," tukasnya.
Foto: Penjualan Motor di Januari-April 2025. (Tangkapan Layar/aisi.or.id)
Penjualan Motor di Januari-April 2025. (Tangkapan Layar/aisi.or.id)
(dce/dce)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Penjualan Mobil Terjun Bebas, Industri Otomotif Kian Terjepit
Next Article Mobil China Jor-joran "Bakar Uang" di RI, Siap Tendang Mobil Jepang?